Perkembangan
teknologi semakin hari kian mengalami perkembangan yang besar-besaran. Bagaimana
tidak, berbagai alat digital seperti gawai diproduksi secara edan-edanan.
Hal ini tentu menyebabkan adanya konsumsi besar dari berbagai kalangan masyarakat,
mulai dari tua, muda, remaja hingga anak-anak, kesemuanya terjejali dengan
teknologi pintar berbasis digital tersebut.
Berbagai
perkembangan teknologi pada akhirnya memunculkan insiatif apik dalam
sektor pendidikan dengan membangun konsep pendidikan berbasis teknologi. Pendidikan
berbasis teknologi adalah jawaban atas berbagai permasalahan yang terjadi di
Indonesia terkhususnya, dimana anak-anak dan remaja mengalami ketergantungan akut
dengan gawai.
Pandemi
covid 19 yang melanda dunia pada awal 2020, juga turut serta memberikan sumbangsih
ketergantungan akut terhadap gawai. Anak-anak dan remaja banyak yang disibukkan
dengan gawai-nya daripada harus beraktivitas produktif seperti membantu orang
tua, belajar. Lebih naasnya, mereka bermain gawai hanya untuk bermain dan
menghibur diri. Bermain Tik-tok, mobile legend, instagram misalnya.
Fenomena
tersebut, akhirnya memunculkan ide gemilang dari para pakar pendidikan dan pemerintah
untuk menjadikan gawai sebagai media pembelajaran. Bahkan lebih jauh, para
pelajar tidak perlu datang ke sekolah, dan cukup hanya membuka gawai, lalu
belajar menggunakan media tersebut. Seperti yang dicanangkan oleh pemerintah Republik
Indonesia melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan yang berupaya untuk
menumbuhkan bibit-bibit kreator konten di masyarakat khususnya konten yang
bersifat edukatif dalam rangka memfasilitasi pendidikan berbasis teknologi. Hal
itu terealisasi dengan munculnya tema “Belajar di Era Milenial dengan Rumah
Belajar”.
Pendidikan
berbasis teknologi memang jawaban baik untuk membendung perkembangan teknologi
yang tidak karuan. Akan tetapi, kita juga perlu melihat dan menelisik lebih
dalam akibat yang ditimbulkan dari pendidikan berbasis teknologi tersebut.
Pada
hakikatnya pendidikan merupakan suatu aktivitas pengubahan sikap dan tata laku
seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah
pengajaran maupun pelatihan. Ada yang tidak terjawab dari konsep pendidikan
teknologi yakni pendidikan moral, dimana dalam pendidikan moral seorang guru
memiliki peran yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Walaupun terkesan dalam
pembelajaran teknologi kita dapat melihat, membaca, mengamati bagaimana moral
yang baik, dalam kenyataannya ada suatu rasa yang tidak bisa diwakili dari
seorang yang disebut sebagai pendidik itu.
Bahkan
Hujjatul Islam Al Ghozali menyatakan bahwa. Konsep pembelajaran sebenarnya lebih
menekankan pada persyaratan moral/ akhlak, akan tetapi pada pengajar saja
sebagai al-Mu’allim (pengajar). Artinya; seorang pengajar itu harus
memiliki peran/akhlak yang baik dalam mengajar. Pernyataan ini dapat ditafsirkan
bahwa pendidikan sebenarnya adalah proses meniru. Terlebih pendidikan tingkat
dasar.
Maka,
menurut penulis wacana pendidikan berbasis teknologi belum seluruhnya menjawab
berbagai fenomena yang terjadi di sektor pendidikan. Terutama fenomena yang
berhubungan dengan moral. Apalagi ditambah dengan banyaknya fenomena anarkis
yang terjadi di kalangan pelajar dan remaja yang kian hari kian menjadi-jadi.
Tentu,
jika pendidikan berbasis teknologi diimplementasikan, para pelajar akan
mengalami peningkatan dalam segi kecerdasan, kepintaran. Muncul cendekiawan, para
ahli dalam berbagai bidang dan lain sebagainya. Tetapi, mereka tidak lebih
hanya menjadi seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, tidak menjadi seorang
manusia seutuhnya. Yakni, manusia yang memanusiakan manusia lainnya. Dalam memanusiakan
manusia moral adalah kunci utama. Maka dengan berbagai pertimbangan, pendidikan
moral seharusnya jauh lebih diutamakan dari berbagai macam konsep pendidikan
apapun.
Posting Komentar