Berdoa Itu Merayu, Bukan Menuntut. Jangan Salah Kaprah!

 


Tulisan ini saya buat setelah membaca buku “Seni Merayu Tuhan” karya Habib Husein Ja’far Al Hadar. Sebuah karya yang membuka mata dan hati tentang bagaimana seharusnya kita bersikap dalam berdoa. Judul buku itu saja sudah menggugah: ternyata berdoa bukan tentang menuntut, melainkan tentang merayu. Sebuah seni yang membutuhkan kelembutan, kerendahan hati, dan adab yang tinggi.

Manusia, sebagaimana disebutkan dalam banyak teks keagamaan, adalah makhluk paling sempurna. Kita diberi akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan kehendak untuk berharap. Namun, di balik kesempurnaan itu, kita juga membawa kerentanan: keinginan yang tak pernah ada ujungnya. Keinginan yang perlahan berubah menjadi harapan, dan dari harapan itu lahirlah doa-doa yang kita panjatkan ke langit.

Berdoa seringkali menjadi pelabuhan terakhir setelah segala ikhtiar ditempuh. Di sanalah, antara harap dan cemas, seorang hamba membuka percakapan sunyi dengan Tuhannya. Doa, kata Habib Ja’far, adalah momentum yang paling intim antara manusia dan Sang Pencipta. Bahkan, Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Jika kau ingin Tuhan berbicara kepadamu, bacalah Al-Qur’an. Tapi jika kau ingin berbicara kepada Tuhan, maka berdoalah.”

Namun sayangnya, banyak dari kita yang tergelincir dalam adab saat berdoa. Kita tidak lagi berbicara dengan kelembutan, tapi dengan nada menuntut. Kita memaksa Tuhan untuk menjawab secepat mungkin, seolah kita ini bos dan Tuhan adalah bawahannya. Padahal, dalam logika sederhana saja, seorang rakyat tak akan berani menuntut langsung kepada rajanya. Lalu, bagaimana mungkin kita, hanya seorang hamba, menuntut kepada Tuhan, Raja dari segala raja?

Inilah yang disebut Habib Ja’far sebagai kekeliruan dalam memahami doa. Doa bukanlah daftar permintaan yang harus segera dikabulkan. Doa adalah bentuk penghambaan. Ia bukan paksaan, tapi rayuan. Bukan ancaman, tapi permohonan. Kita datang kepada Tuhan bukan membawa tuntutan, tapi membawa kerendahan diri, penuh harap, sembari berusaha memperbaiki diri agar pantas menerima jawaban-Nya.

Banyak orang lalu bertanya, “Kenapa doa saya belum dikabulkan?” Tapi seharusnya, pertanyaan itu dibalik: “Apakah saya sudah pantas menerima apa yang saya minta?” Kadang, kekecewaan tumbuh karena kita salah dalam memahami waktu dan cara Tuhan bekerja. Padahal, bisa jadi jawaban dari doa itu bukan dalam bentuk yang kita bayangkan, atau memang sengaja ditunda karena kita belum siap menerimanya.

KH. Nafi’ Abdillah Salam pernah berkata dengan indah, “Doa itu pasti dikabulkan. Tapi kadang-kadang, ketika kita sudah lupa.” Kalimat itu sederhana, namun menyimpan hikmah yang dalam. Tuhan tidak pernah alpa terhadap doa-doa kita. Ia hanya memilih waktu terbaik untuk mengabulkannya, saat di mana kita benar-benar siap secara lahir dan batin.

Maka jika hari ini, doamu belum juga terjawab, bersabarlah. Jangan berhenti berdoa. Jangan bosan merayu. Dan yang paling penting, jangan su’udzon kepada-Nya. Percayalah, Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik, yang akan datang pada waktu yang paling indah. Mungkin bukan hari ini, tapi kelak, saat kamu benar-benar siap menerimanya.

Penulis : Lailiya Dinda Maulidina

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama