Long bon-bon, menu yang jadi primadona di
Cafétaria Al Fithrah, akhirnya berhasil saya pesan malam ini. Setelah antri cukup
tidak lama dan menunggu dengan penuh harap, kopi itu pun datang… saya
menentengnya menuju ke Asrama. Sambil menunggu es mencair saya bercakap ria
dengan teman sejodoh. Setelah cukup mencair, saya lalu pergi keluar. Naasnya saat
menutup pintu. Kopi yang saya pegang terjun bebas ke lantai sebelum saya sempat
menyeruputnya. Duh….
Seketika hati saya mengumpat, “Jian… wassem
og!” Tapi itu hanya di dalam hati, kok. Umpatan khas anak Pondok yang
kehilangan harapan kecil di tengah malam yang lapar.
Namun setelah itu, saya terdiam.
Tersadar.
Tersentak.
Tertampar.
“Mungkin ini yang orang sebut sebagai rezeki
yang bukan rezeki,” gumam saya.
Walaupun sudah di tangan, kalau bukan jatahnya, ya tetap akan lepas.
Kira-kira begitulah nasib kopi saya malam ini.
Lalu, saya iseng berpikir:
Kalau bukan saya yang berjodoh dengan kopi itu, lalu siapa? Semut tak datang,
lalat sedang tidur, nyamuk jelas tak minum kopi, cicak pun tak akan tertarik.
Masa iya ada makhluk lain yang lebih butuh kopi daripada saya malam ini?
Tapi saya sadar, kita ini siapa sih?
Hanya hamba.
Hanya wayang.
Yang hidup di bawah skenario sang Dalang.
Apa yang terjadi malam ini mungkin bukan
sekadar kebetulan. Mungkin ini adalah bagian dari “skenario besar” yang tidak
saya pahami. Mungkin memang saya tidak butuh kopi, tapi butuh kesadaran bahwa
saya bukan pemilik rezeki.
Kadang saya berpikir, apakah ini yang disebut
"semau Gue"-nya Allah?
Di mana segala hal bisa terjadi tanpa perlu alasan manusiawi.
Karena Allah adalah sebab dari segala sebab, maka Dia tidak butuh sebab lain.
Dia tidak wajib menjelaskan maksud-Nya.
Dia Maha Berkehendak. Titik.
Dan di sinilah bedanya kita—makhluk yang butuh
sebab-akibat—dengan Sang Khalik, yang tidak terikat oleh itu semua.
Ternyata, kopi tumpah itu bukan sekadar
tragedi kecil.
Ada pesan besar di baliknya:
Bahwa rezeki tak selalu soal yang datang, tapi juga soal apa yang diambil.
Dan bahwa yang sudah di tangan pun belum tentu milik kita, jika Sang Pemilik
belum mengizinkan.
Saya akui, uang 10 ribu melayang memang agak
menyakitkan.
Tapi kalau itu yang harus terjadi demi saya belajar arti "tidak semua
milikmu adalah rezekimu,"
ya sudahlah. Terima kasih, Gusti. Engkau memang Tuhan paling idola!
Jika anda percaya ini tulisan saya, berarti anda sedang tidak baik-baik
saja,, hehehe….
Posting Komentar