Cerita Gudang Garam dan Hikmah Merokok

 


Trend perpindahan masyarakat pecinta Nyebat (Baca: Merokok) ke rokok murah ternyata berdampak signifikan pada perusahaan kretek raksasa bernama gudang garam. Entah sudah berapa bulan saya tidak membeli rokok hasil tangan orang kediri, itu. Rasanya untuk membelinya saya tak memiliki daya. Baik daya kantong dan daya Sebat. Ya, mungkin saya telah tersadar dari hipnotis tembakau khas temanggung itu. Saya benar-benar telah sadar ekstra, rasanya.

Beberapa tahun kemaren (sepertinya), saya sering menyebat rokok gudang garam, bahkan setelah harganya naik dua kali lipat. Saya tetap menjadi dermawan setianya, tidak lain karena rasa dari rokok gudang garam memang berbeda, lebih nikmat, nyessss banget. Tentu saja kenikmatan ini hanya bisa dirasakan bagi perokok senior - non pemula, apalagi mereka yang tidak pernah menyebat. Bagi mereka mungkin akan banyak kritikan, gremengan disertai dengan tanda tanya besar.

“Halah apa sih perbedaannya, sama-sama dari tembakau, campurannya juga”,

 “Halah itu hanya perasaan kamu saja”,

Atau pernyataan yang paling gathel “Rokok disebat dikeluarin lagi kok dibeli, sekalian donk hisab sampai masuk ke paru-paru, dan biarkan menyebar ke dalam tubuh”.

Rasanya saya ingin membalas kok, ya tidak patut dengan hati saya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, ini. Mereka yang tidak pernah merasakan kenikmatan menyebat daun Eksotis di dunia ini, memang tidak akan pernah mengerti rahasia-sirr dibaliknya. Padahal, secara psikologis dan medis, ada lo manfaatnya, saya kira tidak perlu menampilkan bukti. Tinggal cari sendiri. Punya Hape kan?

Oke, kembali ke topik awal. Entah sudah berapa bulan lamanya saya libur menyebat rokok gudang garam, dan beralih ke rokok-rokok murahan. Saya kira di fase sekarang saya tidak terlalu keberatan soal harganya. Hanya saja, saya merasa cukup dengan rokok-rokok murahan itu.

Setidaknya kenikmatannya tidak kalah dibandingkan dengan gudang garam. Entah ini perasaan saya sendiri, atau hidayah dari Allah untuk senantiasa menjaga finansial tetap stabil. He he, maklum, membeli gudang garam akan banyak menguras kantong kecil saya.

Nah, ternyata usut punya usut, tidak hanya saya yang mengalami hal demikian. Teman se-nyebatan juga beberapa mengalami transformasi rokok. Beralih pada rokok murahan yang tentu saja rasanya tidak murah. Beberapa alasannya karena finansial, kebutuhan, eman, dan seperti kasus saya, Merasa cukup.

Sehingga dari kasus transformasi itu, beberapa perusahaan rokok akhirnya mengeluarkan berbagai merek rokok murah dan membombardir pasar layaknya rudal iran yang menembus iron dom isrongel.

Akibatnya, tentu saja rokok hasil karya gudang garam juga ikut terdampak. Mungkin, ini waktunya gudang garam juga untuk melakukan transformasi harga rokok. Dengan menerapkan harga yang  lebih membumi. He he. Setidaknya dalam masa perang pasar. Setelah itu, silahkan kembali dilangitkan harganya.

Jika transformasi ini dilakukan, kemungkinan besar para dermawan militan yang libur akan kembali berangkat menyerbu pasar. Maka, ayolah diturunkan harganya, ini juga akan mengundang kaum Mendang-mending untuk ikut berpartisipasi dengan gembira. Jika tidak?. Ya, mungkin saja situasi serupa akan tetap terjadi entah sampai kapan akhirnya.

***

Dari sini saya kok jadi mikir, kenapa dari dulu kita tidak mau merasa cukup pada sesuatu yang menjadi keinginan kita. Padahal untuk persoalan rokok yang amat kental ini, kita bisa (bagi penyandu). Saya rasa, kecukupan bukan hanya persoalan uang. Tapi melibatkan kesadaran diri disertai dengan pola pikir. Sehingga perlu, sebelum kita mengeluh, kita berpikir, menimbang, menghitung, mengkalkulasi kebutuhan dan keinginan tersebut. Dan tentunya dapat membedakan mana keinginan, mana kebutuhan.

Jangan-jangan kita sering salah kaprah, bahwa yang dimaksud Allah “jika kamu bersyukur maka aku akan menambahkannya”. Ini bukan persoalan materi, tapi kenikmatan. Dimana kamu mau bersyukur atas pemberian yang Allah berikan, maka Allah akan menambah (rasa) kenikmatan itu dalam dirimu. Begitulah kiranya.

Nah, inilah persoalannya, kita merasa bahwa penambahan yang kita pahami hanya sesuatu yang sifatnya materi, seperti: uang, harta, barang atau hal-hal lain yang serupa. Padahal, bertambahnya rasa senang, cukup, tenang, tentram, serta kesadaran untuk senantiasa mendekat kepada Allah. adalah nikmat yang agung.

Lalu, selanjutnya?,

Merokok bukan hanya soal menyebat (menyedot) asap lalu mengeluarkannya kembali. Merokok juga persoalan menyedot berbagai Informasi yang kita dengar-lihat di sekitar. Informasi positif kita tetapkan dalam pikiran-hati (kenikmatan merokok), informasi negatif kita buang berbarengan dengan asap yang kita sebat.

Jadi, jika kita memahami hikmah sebenarnya dibalik merokok kita akan mengerti. Persoalan rokok bukan hanya persoalan menikmati, tapi juga mentadabburi.

Tabik

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama