Indonesia sebentar lagi berulang tahun yang ke-80. Tentu
saja persiapan sudah dilakukan di sana-sini. Dari upacara hingga lomba balap
karung, dari mural di tembok kelurahan sampai produksi film animasi. Ya, film
animasi. Pemerintah kita tercinta rupanya ingin memberi kado ulang tahun berupa
tontonan edukatif.
Film ini dirilis oleh perusahaan bernama Perfiki Kreasiindo,
dengan Toto Soegriwo sebagai produser dan Arry Ws sebagai asisten produser.
Sutradaranya dua orang sekaligus—Endiarto dan Bintang Takari—yang juga
merangkap penulis naskah. Durasi filmnya 70 menit, niatnya jelas: hiburan dan
edukasi menyambut hari jadi bangsa.
Sebagai penikmat animasi—yang kadang-kadang lebih sering
nonton di YouTube ketimbang bioskop—saya sebenarnya nggak ribet-ribet amat
kalau cuma mau menilai enak atau enggaknya sebuah film. Kita nggak perlu gelar
doktor perfilman untuk tahu mana yang layak tonton dan mana yang bikin mata
perih.
Saya nggak akan bahas alur atau tujuan film ini. Itu sudah
pasti “baik dan benar” menurut kacamata resmi. Fokus saya cuma satu: visualnya.
Masalahnya, di era teknologi AI yang digaungkan di
mana-mana—apalagi oleh wakil presiden tercinta—film ini justru seperti menolak
modernitas. Alih-alih memanfaatkan kecanggihan teknologi, tampilannya malah
mengingatkan saya pada game Minecraft dan Roblox. Bukan karena
konsepnya blocky aesthetic, tapi karena kualitas grafisnya memang mirip
permainan anak SD di komputer warnet.
Pencahayaan kontrasnya bikin nyeri mata, warna-warnanya
seperti dicetak tanpa buku panduan desain, dan gerakannya monoton. Rasanya
lebih pas jadi video edukasi lalu lintas di pelajaran SD tahun 2004
daripada film perayaan ulang tahun negara.
Yang bikin lucu, di YouTube ada kreator independen yang bikin “film tandingan” pakai AI. Hasilnya? Ya, jauh lebih halus, lebih segar, dan—ini yang bikin malu—lebih layak tonton.
BACA JUGA: Catatan Penjaga Gudang Buku
Jadi, ini sebenarnya film edukasi untuk rakyat atau sekadar
proyek hiburan untuk orang-orang yang dekat dengan lingkar kekuasaan?
Netizen sudah ramai memberi komentar. Sebagian besar sepakat
film ini… ya, tidak layak disebut film. Ada yang bahkan lebih memilih menonton Demon
Slayer dari Jepang
ketimbang karya terbaru pemerintah ini.
Bukan berarti orang Indonesia tidak cinta tanah air. Tapi
kalau tontonan tidak ramah di mata, pikiran, dan hati, ya wajar kalau penonton
memilih alternatif. Hiburan yang baik itu harus mencerdaskan bangsa,
menyehatkan mata, menenangkan hati, dan—kalau bisa—bikin pikiran segar, bukan
malah stres.
Padahal, sejarah perfilman animasi kita punya contoh yang
lebih baik. Ada Si Juki The Movie yang menelan biaya sekitar Rp 10
miliar, tapi secara grafis, warna, dan transisi jauh lebih rapi. Ada juga Kuku
Rock You garapan Digital Globe Maxinema, yang “cuma” menghabiskan Rp 2
miliar tapi berhasil juara di kompetisi Asiagraph 2008 di Jepang. Tokoh
utamanya seekor satwa bercita-cita jadi penyanyi rock internasional—konsepnya
unik, eksekusinya mantap.
Artinya, kita punya stok animator andal, penulis naskah
keren, dan studio mumpuni. Tinggal mau dipakai atau tidak. Sayangnya, di negeri
ini, sering kali yang dipakai bukan yang paling bagus, tapi yang paling dekat.
Mungkin begitu. Ya, mungkin.
Posting Komentar