Pembelajaran elektronik atau lebih dikenal dengan sebutan E-learning (Electronic learning) telah dimulai sejak tahun 1970-an. Banyak istilah lain dalam menyebut kegiatan belajar secara elektronik tersebut, antara lain; online learning, web-based distance education, virtual learning, web-based teaching and learning, dan masih banyak lagi.
Tetapi yang paling populer adalah
sebutan e-learning, bahkan di kalangan guru pada kelompok tertentu lebih
mudah disebut dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Namun dalam kesempatan ini
tidak perlu mengulas secara tata bahasa atau asal-usul e-learning, dan kata
e-learning selanjutnya akan digunakan dalam tulisan ini.
Berbicara mengenai e-learning sangat banyak cakupan jenisnya, antara lain yang sering digunakan adalah sinkronus dan asinkronus. Pertama, sinkronus merupakan metode pembelajaran online yang menggunakan live real time untuk seluruh siswa dan pengajar. Sinkronus sering menggunakan aplikasi yang menggunakan web kamera, seperti Zoom, Google meet, Skype, MS Teams, dan sebagainya, dimana antara sesama murid, atau murid dengan guru timbul interaksi berupa diskusi secara online.
Kedua, asinkronus
merupakan metode pembelajaran yang tidak melibatkan interaksi antara seluruh
siswa dengan pengajar. Asinkronus bersifat lebih fleksibel, siswa bisa
mengerjakan atau belajar di mana pun, kapan pun, tanpa membutuhkan waktu real
time untuk berdiskusi, serta lebih sering menuntut siswa untuk belajar
secara mandiri (self-directed learning). Sehingga, model asinkronus ini
lebih banyak disukai oleh siswa.
Nah, dalam asinkronus yang lebih disukai para siswa dan mahasiswa ini ada istilah MOOC. Apa itu MOOC? MOOC merupakan akronim dari Massive Open Online Course, yaitu metode penyampaian konten pembelajaran dan edukasi secara online kepada siapa saja yang ingin mengikuti kegiatan belajar ataupun kursus, tanpa batasan kehadiran.
Jadi, bisa hadir berkali-kali, klak-klik berkali-kali, tanpa batasan jumlah kehadiran, di mana pun, dan kapan pun. MOOC semacam ini kerap memanfaatkan platform Learning Management System. Secara kemasan paketnya, penyedia layanan MOOC ini memberikan materi secara gratis dan berbayar.
Belajar melalui MOOC ini dianggap lebih longgar dan fleksibel, bahkan banyak sekali yang gratis, ibarat bermain game, setelah membaca dan belajar materi, kita disuguhi soal-soal pertanyaan yang perlu dijawab, dan tentu saja untuk mengukur pemahaman terhadap materi. Tertarik dengan MOOC, manfaatkan gawai pembaca untuk upgrade kemampuan diri dengan akses melalui puluhan platform penyedia MOOC yang tersedia di mesin pencari.
Baca Juga: Kartini: Lambang Wanita untuk Menuju Kesempurnaan Spiritual dan Intelektual
Selain beberapa jenis e-learning di atas, saat pandemi covid-19 selama dua tahun, dan setelahnya hingga masa kini, muncul penyebutan blended learning dan hybrid learning yang semakin massive, lantas apa perbedaan keduanya? Blended learning merupakan metode pembelajaran daring yang memadukan sinkronus dan asinkronus.
Sedangkan hybrid learning metode
pembelajaran secara sinkronus yang menyampaikan konten materi pembelajaran
secara online dan tatap muka. Yang perlu ditekankan adalah hybrid
learning ini bisa jadi ada siswa yang belajar di dalam kelas secara
berkelompok dan di rumah secara mandiri. Untuk menerapkan metode hybrid
learning ini pihak sekolah dan institusi dituntut dengan teknologi yang
mendukung, serta kemampuan pengajar dituntut harus sangat baik, karena untuk meladeni
siswa secara tatap muka dan juga virtual, sehingga siswa merasa tidak
diabaikan serta dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Tuntutan e-learning
memang sangat tinggi karena berkembang sangat pesat dan cepat melampaui
perkiraan para pengajar.
Bahkan beberapa bulan terakhir ini, salah satu kampus ternama yang giat dalam bidang pengembangan teknologi digital, tengah mengembangkan sosok dosen AI (artificial intelligent atau kecerdasan buatan) yang diklaim merupakan dosen AI pertama di Indonesia. Sosok dosen AI tersebut tentu dapat dimasukkan dalam kategori online learning.
Meskipun saat ini
pendampingan dosen AI hanya untuk mata kuliah pengembangan Game AR. Tidak
menutup kemungkinan dosen dan guru di masa yang akan datang, juga akan ada versi
baru AI untuk mata kuliah lain atau pun mata pelajaran di sekolah dasar
hingga menengah atas.
Dengan demikian, bukan berarti sosok dosen atau guru yang sesungguhnya
dapat diwakilkan dan digantikan secara utuh kehadirannya dalam kelas selama
proses belajar mengajar baik di kampus atau pun di sekolah. Menurut hemat penulis,
peran dosen dalam perkuliahan tatap muka, dan sosok guru yang dinanti petuah
dan teladannya selama pembelajaran di sekolah, tetap tidak bisa digantikan
secara utuh seratus persen oleh hal lain. Baik itu digantikan oleh kegiatan e-learning,
oleh dosen atau guru AI, atau bahkan kehadiran fisiknya digantikan oleh
robot.
Sejatinya e-learning adalah proses pembelajaran yang tetap membutuhkan berbagai jenis media dan alat-alat untuk melaksanakannya. Bahkan membutuhkan tenaga, usaha, alat, serta biaya ekstra, sebut saja salah satunya yaitu paket kuota/data internet. Untuk mengarungi arus globalisasi yang tidak mengenal batas geografis dan astronomis, sudah selayaknya kita sebagai pengajar mendukung perkembangan kemajuan pendidikan di Indonesia, yang juga telah merambah ranah digital dan online.
Tanpa meninggalkan sisi kemanusiaan
dan empat kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh semua pengajar, baik guru
atau pun dosen, yaitu: pedagogik, sosial, kepribadian, dan Professional. Sehingga,
tenaga dan usaha ekstra kita sebagai pengajar, serta alat atau biaya yang telah
dianggarkan oleh negara atau pun alat/biaya yang telah dikeluarkan oleh
murid/mahasiswa menjadi lebih bermanfaat, memperoleh hasil yang maksimal, dan
mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Oleh: Rohana Sufia*
*Penduduk asli Muncar-Banyuwangi, pernah di STAI Al Fithrah, Surabaya.
Sejak 2022 pindah ke Program Studi Pendidikan Geografi, FKIP, Universitas
Khairun, Ternate.
Posting Komentar