Catatan Penjaga Gudang Buku

 


Sebagai penjaga gudang buku (Baca: Perpustakaan) yang baik, bagi beberapa orang yang mengklaim baik, sih. Tumpukan buku semacam ini di meja perpustakaan menjadi pemandangan yang agak eksotis. Beberapa dari pengunjung terkadang terpukau dengan beberapa pola gambar yang ada di sana. Sehingga, beberapa dari mereka tak khayal bila mengolak alik, menurunkan tumpukan, membaca satu persatu judul & blurb yang menurutnya pantas untuk dibaca.


Secara tata ruang, pemandangan seperti ini jelas tidak apik. Sebab terkesan urakan, jauh dari kata rapi. Tapi, dengan begini justru salah satu dari mereka dapat mengetahui pertumbuhan buku baru di gudang buku. Ya, walaupun terkesan jauh dari kata apik. Sekali lagi!.


Sebagai seseorang yang suka ngobrol, ngoceh, kakean omon, menjadi penjaga gudang buku jelas suatu projek yang kurang cocok bagi saya. Mungkin. Karena kemungkinan besar, saya akan banyak interaksi kepada pengunjung, sehingga bisa saja interaksi itu menimbulkan ketidaknyamanan suasana gudang buku, yang cenderung hening, tentram, tanpa suara.


Interaksi itu biasanya berupa pertanyaan soal buku yang suka dibaca, atau menanyakan buku yang dpinjam sudah dikhatamkan belum, atau sampai di mana bacanya, apa yang dipahami dari buku itu. Atau mungkin juga sebaliknya, mereka yang bertanya soal buku. Tentang buku apa yang cocok untuk pemula, buku untuk self healing, novel yang asyik lan masyuk, buku ringan, buku bikin sregep daaaaaaannnn sebagainya. 


Di sini, selain sebagai penjaga gudang. Saya juga berlagak sebagai konsultan buku. Ya, walaupun beberapa rekomendasi saya jelas kemungkinan tidak memuaskan mereka. Tapi setidaknya adanya jawaban itu lebih baik daripada tidak. Tentu berbeda kasus dengan jika apa yang ditanyakan tentang suatu hukum. Maka jelas, saya perlu sadar diri lan sadar posisi, njur mundur alon-alon.


Tapi serius, soal buku setidaknya saya tidak bodong-bodong amat, agaknya di beberapa buku ringan saya siap merekomendasikan. Ya, tentu saja keilmuan mek bedunduk ini saya peroleh atas pembacaan saya pribadi dan ditambah dengan hasil interaksi dari berbagai pembaca ulung atau bahkan mahasiswa lain yang telah melahap habis buku-buku babon.


Hari ini, saya masih berpikir bahwa apa yang saya lakukan ini apakah sudah benar atau tidak. Terlepas dari pandangan puas dari mereka yang sudah saya rekomendasi. Tapi secara etika sebagai penjaga gudang buku, yang harus diam, hening, tanpa suara. Agaknya kok kurang tepat dan sesuai. Coro dikata kok “Terlalu melenceng joauh masze”.


Bahkan, hingga sekarang, saya masih berpikir bahwa perpustakaan bukan hanya tempat untuk berdoa (membaca saja tanpa berdiskusi. Internalisasi dari omongan roki gerung), tapi juga tempat untuk berdiskusi, adu gagasan, gelut akademik, atau bahkan adu jotos gagasan. Dengan begitu, saya kira, mereka para pembaca tidak hanya memiliki perspektif yang benar hanya saya. Tapi juga perspektif “kemungkinan orang lain lebih benar dari saya”.


Toh, terkadang. Membaca buku tanpa diadu malah menjadikan diri kita sebagai malaikat pemasang label benar salah, alih-alih justru menjadi penengah dari benar salah itu.


Singkatnya, terlepas dari itu semua. Harapan saya, gudang buku harus menjadi tempat mengasyikkan lan memasyukkan untuk mengolah pikiran. Baik itu pembacaan, maupun adu gagasan.



Sekian

Tamplik, eh salah ketik, Tabik maksudnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama