PRASANGKA YANG TERSIBAK DI RAK BUKU

 


CANVA.AI

Hunting buku adalah cara mencintai hari libur dengan sederhana. Mengelilingi tumpukan-tumpukan buku dalam toko memberikan rasa bahagia tersendiri buat saya. 

Mengamati satu persatu dari tumpukan itu, hingga akhirnya mataku jatuh cinta pada satu hingga beberapa buku tertentu. Bukan sedang mencari, tapi cocok, karena memang tidak ada list judul buku yang khusus dalam pencarian itu.

Sedikit cerita, kemarin hari Ahad, saya mengunjungi beberapa pasar buku murah di Surabaya. Salah satunya yakni pasar Blauran yang berada di depan Mall BG Junction. Konon katanya menjadi salah satu surga buku bekas di Surabaya. 

Pasar ini, jika dilihat dari luar tampak seperti pasar biasa, dan cenderung menjual pakaian atau aksesoris lainnya. Beberapa lorong saat masuk kita akan disuguhi aneka kuliner khas Suroboyoan, dan pastinya jajanan pasar yang menyulut rasa keinginan untuk mencobanya.

Sedangkan saat naik ke lantai dua, kita akan disuguhi pemandangan ruko pakaian dan sandal yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Lantai atas seakan tidak terjamah oleh para pembeli, sangat sepi.

Entah apakah saya kebetulan ataukah memang kesehariannya memang sepii. Yang jelas 3 kali saya ke sana, saya tidak pernah berbarengan dengan pembeli pakaian lain. Selain saya sendiri.

Melihat dari luar, memang seakan pasar ini tidak ada yang menjual buku. Tapi siapa sangka saat kita memasuki lorong di lantai satu, melawati penjaja makanan yang berbaris rapi dengan telaten.

Kita akan menemui sekitar 8 orang penjual buku. Pengamatan saya kebanyakan buku yang dijual adalah buku bekas. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada  juga beberapa buku baru.

Saat baru bertemu penjual buku pertama,, di pertigaan jalan dalam pasar. Saya mencoba mengamati satu persatu judul buku bekas itu. Hingga mata saya tertuju pada satu buku berjudul “Negeri 5 Menara”.

“Woah, lahhh, ini yang saya cari”, batin saya.

Tanpa basa basi cangcingcong, saya langsung menanyakan harga ke ibu penjual, tentu dengan nada lemah lembut dan sopan, lengkap beserta mode menawarnya.

“Berapa, buk?”,

“40 mas, asli iku mas”, dengan nada agak ngegas dan muka super cuek (ibarat wong PMS, semacam kudu muring-muring).

“20 boten angsal buk?”, tawar saya balik.

“Asli iku mas, nek bajakan sakmunuan. Iki asli”, dengan nada tinggi dan seperti agak pingin ngantemi saya.

Sebenarnya, maksud saya begini. 20 ribu itu harga awal yang saya tawarkan. Bukan final. Harapan saya, terjadi tarik ulur antara penjual dan pembeli.

Mungkin, bisa dengan menambahkan beberapa ribu, atau beberapa puluh sehingga pembeli dan penjual mencapai titik terang. Begitu.

Tapi, tampaknya si ibu sudah agak malas meladeni saya. Bisa jadi beliau sedang PMS, atau memang sudah kesal, karena dari pagi banyak yang hanya menawar tapi gak beli-beli. Sehingga si ibu cukup malas meladeni, dan endingnya pingin ngamuk.

BACA JUGA: Refleksi Hari Literasi Nasional 2025

Saya sih, biasa aja. Bagi saya, adalah normal respon seperti itu. Terlebih jika keadaan pasar tidak begitu baik. Lah bukannya setiap orang memang memiliki beban masing-masing, dan terkadang mereka membutuhkan tempat untuk memuntahkannya.

Ya, mungkin saja si ibu sedang dapat tempat yang cocok, sehingga memuntahkannya kepada saya.

Teman dekat saya yang kebetulan membersamai pun agak malas dengan si ibu penjual. Sehingga ia juga ngedumel kepada saya.

“Saya gak suka cara ibu tadi merespons. Sangat tidak ramah. Kita ini kan pembeli, masa diperlakukan seperti itu. Kalo gak niat jualan, ya gausah jualan”, Ucap teman saya sambil ngedumel, wajahnya judes, dan bibir mencang-mencong.

Saya yang bijak sana – bijak sini, tentu meresponnya dengan santai. Lagian, untuk masalah diumpat, saya sudah cukup banyak latihan untuk menghadapinya dengan penuh kesabaran.

“He he,,, gapapa, namanya juga orang. ya begitu, tidak semua responsnya baik, kadang-kadang ada yang begitu. Toh masalah manusia itu beragam, bisa jadi mungkin ibunya sedang ada masalah, makannya responsnya begitu. Ga perlu marah, sabar aja. Lagian tidak ada yang berkurang dari diri kita. Apa salahnya kita merespons dengan baik, atau biasa saja. Barangkali ibunya capek, sudah berjualan dari pagi belum laku. Namanya juga jualan buku, siapa memang yang rutin membeli?, terlebih buku bekas.”, terang saya dengan santai ala Pak Pahrudin Paiz.

Saya pun akhirnya melanjutkan mencari buku lagi di toko sebelahnya. Kali ini penjualnya seorang kakek-kakek, umurnya sekitar 60-70-an. Ia merespons kami dengan sangat baik.

Monggo mas, lihat-lihat dulu, ndak papa, barangkali ada yang cocok”.

Saya pun melihat-lihat buku di atas meja tersebut, dengan mode screening aktif. Akhirnya saya menemukan buku yang cocok dan apik menurut saya.

Cover putih dengan gambar ikon beberapa media sosial, serta tulisan judul tegak berwarna merah hati bertuliskan “BERPIKIR KRITIS”.


Lah,, ini bagus, cocok sepertinya untuk saya yang berpikir tidak kritis”,

Tak lupa saya pun juga menscreening blurb buku, membuka daftar isi buku, dan kebetulan tidak sengaja saya buka buukuu pas pembatas dan kebetulan tertulis Format analisis, teknis, materi.

“weh, buku ini sepertinya sangat aplikatif. Ndak hanya ngobral-gabrul soal teori saja”, batin saya. Akhirnya saya memantapkan diri untuk membeli buku ini.

Saya menanyakan harga kepada si bapak.

“Ini berapa pak?,

“30 Ribu, mas”, jawab si bapak

Weh, kok rodok lumayan ya,” batin saya. Akhirnya saya pun coba menawar.

Kalau boleh 20 pak, pripun?, kalo iya saya ambil”,

Emmm, barangkali mau lihat-lihat yang lain juga mas, nanti bisa saya atur harganya”, ucap si bapak sinambi menyuruh saya men screening kembali.

Saya pun mengikuti instruksi beliau,, melakukan screening kembali. Dan tetap tidak mendapatkan yang sesuai.

Tidak ada yang cocok lagi, pak. Gimana?”

“Ya sudah, ndak papa mas 20”, si bapak akhirnya pasrah. Hehe…, tapi bahagia kok beliau. Jangan disangka tertekan ya…

Saya pun akhirnya menyodorkan uang 50. Si bapak memberikan kembalian. Saya lalu melanjutkan perjalanan berwisata di pasar buku bekas itu. Hingga 1 kali lagi saya menemui si ibu penjual yang sama tidak ramahnya dengan yang awal saya temui tadi.

He he, entahlah. Sepertinya kedua ibu penjual buku itu PMS-nya berbarengan, jadi agak meraung raung ngomongnya.

Saya lalu berefleksi sejenak. Hem, berjualan itu memang butuh kesabaran tingkat tinggi. Kita harus senantiasa mencoba memberikan yang terbaik kepada pelanggan, sehingga dengan begitu mungkin dagangan kita akan dibeli.

Kalaupun tidak, toh kita akan dikenang sebagai penjual yang baik. Barangkali di momen tertentu besuk mereka akan merekomendasikan kita kepada orang lain. Nah, orang lain ini mungkin yang akan menjadi pelanggan kita, mungkin.

Seperti si bapak ini, yang sabar, halus telaten meladeni saya. Pada akhirnya ia menuai penjualan. Ya, walaupun tidak seberapa. Tapi setidaknya usaha itu terlihat membuahkan hasil.

Sedangkan si ibu tadi?, selain mendapatkan gremengan. Saya kira, untuk kembali ke sana besuk, saya akan berpikir 2 kali. Merekomendasikan? Apalagi, tentu saja tidak.

Bukan saya ini orang tega. Tapi khawatir setelah saya rekomendasikan, saya justru mendapatkan umpatan kedua.

Dari siapa?,

Pastinya dari orang yang saya beri rekomendasi. Integritas saya bisa turun. Bahaya juga. Besuk kalau saya mau nyaleg, kesulitan donkkk…. Wekekeekekekkeke…..

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama