Sudah lama saya memikirkan satu hal:
apakah benar kegagalan seorang anak dalam masyarakat selalu bisa ditarik
sebagai kegagalan sekolah? Apakah benar keberhasilan seorang anak—menjadi
juara, berlimpah harta, populer di ruang publik—merupakan bukti sekolah telah
berhasil mendidiknya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengusik
saya selama bertahun-tahun, hingga saya sadar, barangkali kita terlalu
menyederhanakan persoalan pendidikan. Kita membebankan seluruh hasil akhir
kepada sekolah, seolah sekolah adalah pabrik yang memproduksi manusia unggul
secara massal. Jika satu anak gagal, maka sekolah dianggap cacat. Jika satu
anak berhasil, maka sekolah dielu-elukan.
Tapi benarkah sesederhana itu?
Saya gelisah dengan pandangan yang
menyempitkan kegagalan anak hanya pada kegagalan guru atau metode mengajar.
Apalagi ketika saya mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG), kegelisahan itu
memuncak. Saya khawatir, apakah ilmu yang saya ajarkan benar-benar meresap ke
dalam diri siswa saya? Apakah saya akan ikut disalahkan jika satu dari mereka
tergelincir di luar sana?
Kegelisahan saya sempat mereda saat
menyimak konten dari seorang guru Bimbingan Konseling (BK) kreatif di media
sosial. Ia mengatakan bahwa “sekolah bukanlah pabrik, melainkan bagian dari
ekosistem kehidupan.” Saya tersentak. Kalimat itu seperti membuka cakrawala
baru: bahwa anak-anak tidak hanya dibentuk oleh guru dan kurikulum, melainkan
juga oleh rumah, masyarakat, dan budaya di sekelilingnya.
Artinya, kita tidak bisa serta merta
menyalahkan sekolah ketika seorang anak menyimpang dari harapan. Sebab, sekolah
hanyalah satu komponen dari sistem sosial yang lebih besar. Dalam konteks
inilah, saya memahami mengapa anak dari keluarga mapan cenderung lebih mudah
mencapai sukses, sementara anak dari latar belakang miskin seringkali
tertinggal. Bukan semata karena kecerdasan atau motivasi mereka berbeda, tetapi
karena ekosistem tempat mereka bertumbuh tidak setara.
Ekosistem yang saya maksud bukan
hanya soal kondisi ekonomi, tapi juga jaringan sosial, norma, nilai, akses
informasi, hingga cara orang tua berinteraksi dengan anak. Orang kaya tumbuh di
lingkungan kaya, berinteraksi dengan orang-orang berdaya, mendapatkan
ekspektasi tinggi. Sebaliknya, anak dari keluarga miskin kadang terjebak dalam
ekosistem yang membatasi geraknya, bahkan sebelum mereka memahami potensinya
sendiri.
Pernah saya merenung, bagaimana jika
seorang anak mengonsumsi narkotika di luar jam sekolah? Apakah sekolah sepenuhnya
harus menanggung malu atau disalahkan? Tentu tidak. Sebab narkoba tidak hadir
di ruang kelas. Maka yang perlu dilihat adalah lingkungan tempat anak itu
berada di luar sekolah: teman sepermainan, keluarga, tetangga, dan pola asuh
yang mereka terima.
Sialnya, seringkali masyarakat masih
berpikir bahwa semua bisa diatasi dengan penyuluhan dari guru. Padahal, edukasi
dari guru sebaik apapun tidak akan berarti jika lingkungan tempat anak kembali
setiap hari justru menormalisasi hal-hal buruk.
Lalu siapa yang bertanggung jawab?
Saya percaya jawabannya adalah orang tua. Mereka adalah aktor penting
dalam menciptakan ruang aman dan sehat bagi anak, sekaligus pengendali utama
arah tumbuh kembang anak di luar sekolah.
Namun, tak semua orang tua punya
kapasitas untuk itu. Banyak yang bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Maka
dari itu, saya menggagas sebuah ide yang mungkin terdengar sederhana, tapi
punya dampak besar: membentuk komunitas orang tua peduli. Saya menyebutnya “KURANG
TANGAN” (Komunitas Orang Tua Tanggap dan Peduli Lingkungan),—ya, nama ini
sengaja dibuat mencolok agar mudah diingat, dan karena anggotanya sebagian
besar ibu-ibu, biarlah sedikit jenaka.
Komunitas ini tidak hanya membahas
tugas sekolah atau libur semester, tetapi juga soal pengasuhan, psikologi anak,
pendidikan karakter, konseling keluarga, bahkan literasi finansial. Saya membayangkan
komunitas ini sebagai ruang belajar lintas peran—di mana orang tua saling
bertumbuh, bertukar cerita, dan membangun ekosistem kecil yang sehat bagi
anak-anak mereka.
Sekolah tidak bisa berjalan sendiri.
Guru tidak bisa memikul semua beban. Negara pun tidak akan cukup hanya dengan
membuat regulasi. Pendidikan sejati hanya mungkin terjadi jika seluruh elemen
masyarakat terlibat—terutama keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat itu
sendiri.
Saya percaya, perubahan besar selalu
dimulai dari langkah kecil. Dan komunitas seperti ini, betapapun kecilnya,
adalah pijakan awal yang penting untuk menciptakan masa depan yang lebih baik
bagi anak-anak kita.
Daripada terus meneliti apakah suatu
program “menarik” atau tidak, mungkin sudah waktunya kita mulai bertanya:
apakah ini bermanfaat?
Jika iya, maka layak kita perjuangkan
bersama.
red. Hann Rumi
Just a test
BalasHapusPerasaan saya setelah membaca
BalasHapusSaya merasa bahwa kita tidak perlu menyalahkan guru, kalau siswa tidak cerdas/ bodoh. Karena guru tidak mengajar 24 jam masih ada dedikasi dari orang tua. Karena cerdas dan bodohnya seorang siswa itu juga tergantung dari cara dia bergaul/lingkunganya.
Karena guru tidak sepenuhnya memikul tanggung jawab terhadap siswa masih ada orang tua yang memiliki tanggung jawab sepenuhnya.
Perasaan saya tidak sepakat jika guru di salahkan siswa sering nakal
Jadi perasan kami setelah membaca narasih tersebut sayah juga merasah bahwa tidak begitu semua guru, itu kurang atau tidak memberi peljaran atau masukan kepada anak" Itu tersebut,
BalasHapusTidak sepenuhnya kita menyalahkan seorang guru jika sesuatu bodoh karena tanggung jawab guru tidak sepenuhnya dan juga pintar seorang siswa itu tergantung dari lingkungan ya.
Saya sangat setuju dengan kalimat “sekolah bukan pabrik” dimana guru yang selalu disalahkan mau apapun kasus dan kesalahan murid dan dimanapun itu sekolah dan guru yang selalu di salahkan kenapa sih harus seperti itu kan kita semua juga tau peran mendidik terbesar ada di orang tua,lingkungan juga sangat berpengaruh buat pertumbuhan dan perkembangan anak/siswa,jika lingkungan atau pergaulannya kurang baik otomatis perilakunya pun kurng baik. Peran orang tualah yang paling penting untuk perkembangan dan perilaku anak , lingkungan dan budaya juga berpengaruh.
BalasHapusSaya juga sedikit membaca tadi web ini juga membahas tentang anak orang kaya yang selalu berhasil dan anak orang miskin yang gagal,menurut saya tidak semuanya seperti itu karena kita bisa lihat sekarang banyak kok anak orang sederhana bisa berhasil ketimbang anak orang kaya. Anak orang sederhana hidupnya itu penuh survive karena di pikiran mereka,mereka harus berhasil kita boleh kekurangan materi tapi untuk ilmu jangan.semangat untuk menuntut ilmu itu yang buat mereka semangat dan tidak gampang menyerah untuk menuntut ilmu dan belajar untuk mencapai keberhasilan.
Jadi perasaan saya setelah membca narasi tersebut, saya juga merasa bahwa tidak setuju, jika kegagalan seorang anak/siswa itu disalahkan oleh guru dan pendidikan di sekolah. tidak semua kita salahkan guru, pendidikan yang sudah di jalankan yang sesuai, tetapi jikalau dalam lingkungan masyarakat, pergaulan anak yang bisa kita bilang seperti, megikut orng yang suka minum, pastinya dia akan terjerumus...
BalasHapusDan juga sebaliknya ada kegagalan anak/siswa karen pendidikan, yang di mana guru tidak memberikan pegajaran yang sesuai akan akan berdampak di anak/siswa tersebut...
Iya ini sangat bermanfaat apalagi semuanya bisa melihat dan membaca ini Mereka akan sadar bahwa semua itu harus saling menghargai dan saling mengormati satu dengan yang dan tak ada lagi yang membeda-bedakan status ekonomi. Dan anak-anak maupun orang tua tau akan kesadaran bahwa yang di lakukan itu benar atau salah , dan anak-anak juga harus bertangung jawab apa yang di lakukannya. Dan sebagai orang tua ta boleh harus ringan tangan kepada anak-anaknya
BalasHapussaya sangat setuju dengan bacaan yang bejudul " Sekolah bukan pabrik: Menata ulang ekosistem pendidikan kita". kenapa? Karena ada beberapa sekolah itu mengurus masalah siswa walaupun di luar sekolah,tetapi jika siswa yang melakukan kesalahan di luar sekolah tersebut masi menggunakan seragam sekolah dan masi di waktu jam sekolah menurut saya itu masi di dalam tanggung jawab sekolah,karena dari pihak sekolah pun sudah pasti tidak mau di pandang oleh masyarakat dan pemerintah sebagai sekolah yang tidak baik.
BalasHapusUntuk anak orang kaya dan anak orang miskin memang berbeda tetapi tidak semua anak orang kaya kehidupan dan masa depannya akan tertatah rapi hinggah sukses,begitupun dengan anak orang miskin. karena walaupun siswa yang terlahir dari keluarga kaya tetapi keluarganya tidak cemarah atau bermasalah itu akan berdampak ke mental anak dan jalan menuju ke masa depannya,anak tersebut akan berubah karna gangguan mental yang di dapat karna masalah keluarga tadi. swbaliknya dengan siswa anak orang miskin, walaupun dia terlahir dari keluarga kurang mampu,juka keluarga dan lingkungan sekitarnya mendukung,cemarah dll pasti akan sukses kedepannya karna ada dukungan dari lingkungan sekitar dia. Akan tetapi masalah ekonomi dari anak orang kaya akan tetap stabil walaupum keluarganya bermasalah dan anak orang yang kurang mampu pasti ekonominya melemah.
apapun kondisi kita,mau kaya raya atau miskin akan tetapi jika keadaan lingkungan tidak memungkin kan atau tidak mendukung kita pasti akan goyah dan akan berkurang rasa semngat dalam diri,karna kondisi lingkungan itulah yang paling penting apalagi kita mendapatkan suport dari orang tua karna peran orang tua itu sangat lah penting bagi kehidupan anak.
BalasHapusTidak semua orang susah itu tidak bisa sekolah, jika mereka mau bersha sekolah mereka juga akan sukses seprti orng² yang di luar sana, dan orang tua yang susah juga akan berusaha jika anaknya berkeinginan untuk sekolah, jadi sebagai orang tua harus mendidik anak²nya yang benar dan teladan agar tidak bergaul bebas dan mengonsumsi narkoba di luar sana
Perasaan saya ketika membaca teks di atas yang berjudul sekolah bukan pabrik. Betul sekolah bukan pabrik untuk membuat anak menjadi sukses. Dan kegagalan anak itu bukan dari sekolah melainkan dari lingkungan keluarga, pertemanan, orang tua juga penting dalam mendidik anak tersebut.
BalasHapusProgram ini sangat bermanfaat untuk kita semua. Saya merasa lega Karana ada yang berani mengkritik sistem pendidikan yang kaku dan beragam. Saya juga merasa prihantin Karana kenyataannya bahwa sekolah- sekolah seperti jalur produksi yang harus sesuai standar.
Menurut perasaan saya dan pandangan saya terhadap sekolah bukan pabrik menata ulang Ekosistem pendidikan kita melainkan sekolah adalah tempat dimana kita menuntut ilmu dan menurut saya kegagalan itu tidak pernah ada selagi kita mau berusaha dan terus melangkah
BalasHapusSaya liat dan membaca catatan ini bahwa mempertanyakan pandangan kegagalan anak atau mengagungkannya atas keberhasilan mereka dan bahwa orang tua memegang peran Sentral dalam membentuk karakter dan massa depan anak-anak.
BalasHapusPerasaan saya ketika membaca tentang sekolah bukan pabrik, saya sangat setuju, pentingnya pendidikan yang berpusat pada siswa, kreativitas dapat membangkitkan perasaan motivasi dalam sistem pendidikan. Tidak semua anak dari keluarga mapan cenderung lebih mudah mencapai sukses,akan tetapi lebih Banyak anak dari latar belakang miskin yang merasa lebih mudah mencapai sukses.
BalasHapusMenurut perasaan saya dan pandangan saya terhadap sekolah bukan pabrik menata ulang Ekosistem pendidikan kita melainkan sekolah adalah tempat dimana kita menuntut ilmu, dan menurut saya kegagalan itu tidak pernah ada selagi kita mau berusaha dan terus melangkah.
BalasHapusDari artikel "Sekolah Bukan Pabrik: Menata Ulang Pendidikan Kita" di atas saya merasa " iya juga ya" kegagalan se orang siswa itu bukan dari sekolah melainkan dari lingkungan keluarga, masyarakat ,orang tua juga penting dalam mendidik anak.
BalasHapusMenurut syh kita tidak bisa serta merta menyalahkan sekolah ketika seorang anak menyimpang dari harapan. Sebab, sekolah hanyalah satu komponen dari sistem sosial yang lebih besar. Dalam konteks inilah, saya memahami mengapa anak dari keluarga mapan cenderung lebih mudah mencapai sukses, sementara anak dari latar belakang miskin seringkali tertinggal. Bukan semata karena kecerdasan atau motivasi mereka berbeda, tetapi karena ekosistem tempat mereka bertumbuh tidak setara.
BalasHapussaya memahami mengapa anak dari keluarga mapan cenderung lebih mudah mencapai sukses, sementara anak dari latar belakang miskin seringkali tertinggal. Bukan semata karena kecerdasan atau motivasi mereka berbeda, tetapi karena ekosistem tempat mereka bertumbuh tidak setara.
Salah satu poin penting adalah pentingnya keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan Penulis mengusulkan pembentukan komunitas orang tua yang peduli, seperti KURANG TANGAN (Komunitas Orang Tua Tanggap dan Peduli Lingkungan) untuk mendukung perkembangan anak di luar lingkungan sekolah Inisiatif semacam ini bertujuan menciptakan ruang belajar bersama bagi orang tua dalam memahami pengasuhan, psikologi anak dan pendidikan karakter.
BalasHapusPerasaan saya selama membaca isi teks ini, memang betul sekolah itu bukanlah pabrik, dan tidak semuah anak² itu tanggung jawab seorang guru, dan juga karakter siswa itu tidak bisa sepenuhnya di bentuk oleh seorang guru, tetapi orang tua mereka dan juga lengkungan sekitar mereka. memang guru itu tanggung jawabnya besar, mendidik siswa, tetapi itu bukan hanya tanggung jawab seorang guru sajah, memang betul guru itu untuk mendidik anak² tetapi itu tidak sepenuhnya, sepenuhnya itu orang tua mereka dan juga, lingkungan sekitar yang mereka tempati. Sekarang, dan juga sampe mereka memakai obat² terlarang itu bukan karna salahnya seorang guru, tetapi itu karna orangtua mereka, dan mereka terbawah oleh lengkungan di sekitarnya.
BalasHapusPosting Komentar